06/04/13

Perkenalkan, Mantan Peneliti SPT Tahunan!



Tulisan ini juga saya muat di secuilpajak.blogspot.com 

Bertahun tahun lalu saat masih bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Duren Sawit yang notabene adalah daerah hunian yang padat Wajib Pajak Orang Pribadi sekaligus padat Wajib Pajak Badan jenis Perdagangan Besar dan Konstruksi, kami para Account Representative biasa diperbantukan untuk jadi peneliti SPT Tahunan yang mau dilaporkan. Jaman sebelum sistem drob box diberlakukan, keberadaan tim Peneliti ini wajib kudu ada, karena disamping keberadaan tim peneliti ini dapat dengan signifikan membantu mengurangi SPT Tahunan Tidak Lengkap dan SPT Tahunan salah isi (Unbalance) juga tim peneliti ini dikerahkan untuk membantu Wajib Pajak yang datang dengan blanko kosong dan mengatakan “pak/bu, ngisinya gimana ya”.
Sudah jadi habit-nya orang Indonesia yang memegang teguh prinsip “mefet-mefet itu asyik” (jangan ngeres dong ah), maka pelaporan SPT Tahunan juga akan padat sekali pada 2 atau 3 hari menjelang batas akhir pelaporan. Pada hari-hari itu petugas pelayanan dan Account Representative ditambah beberapa petugas yang diperbantukan pulang hingga larut malam. Ini sudah terkondisikan setiap tahunnya, ada atau tidak ada uang lemburnya (seringnya gak ada sih). Dan sisi manusiawi itu terlihat jelas saat menjelang jam pelaporan ditutup, di kursi2 antrian banyak anak-anak dan juga suami-suami yang menjemput ibu/istri mereka dengan mata sepet karena ngantuk sementara ibu mereka ternyata masih sibuk coret sana –coret sini (pernah ngalamin 10 menit menjelang jam akhir pelaporan ada seorang ibu-ibu bendaharawan pemerintah yang membawa setumpuk SPT Tahunan Orang Pribadi yang masih kosong melompong minta diajarin ngisi SPT satu persatu yang celakanya setelah dijelaskan berkali2 tetap gak ngerti jugak----akhirnya kita semua para peneliti saling berpandangan dan tertawa bersamaan---never ending SPT, batin kami kompak). Capek berubah jadi hepi saat Kepala Kantor menyalami kami satu persatu dengan penuh kekeluargaan dan kami saling mengucapkan “selamat ya”. Gak jelas banget selamat atas apa, yang penting cekikikan time kan?
Menjadi peneliti SPT Tahunan pada masa itu menyisakan banyak cerita, terutama menyangkut sikap-sikap Wajib Pajak yang beraneka rupa, here it is ceritanya:
1.   Seorang anggota dewan dari fraksi “sesuatu banget” datang bersama ajudannya yang badannya gempel dan tampang yang disangar-sangarin. Buatku gak ngaruh sih, mau anggota DPR plus ajudan seramnya atau sesiapapun yang lapor ya diperlakukan sama dwonk. SPT dicek sana –sini, dan:
Me  : “Bapak pengisiannya masih belum tepat”, (lalu kujelaskan dengan bahasa yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya)-hayah.
Bapak: “Kok dihitung dengan cara embak jadi kurang ya pajaknya” (catat! he call me “embak” ya bukan “embah”).
Me   :”Ini bukan hitungan cara saya pak tapi cara Undang-Undang” (lalu dikeluarkanlah buku-buku sakti yang memang dipersiapkan untuk mengantisipasi WajibPajak2 yang ingin tahu banyak).

Beruntung bapak ini kooperatif setelah dijelaskan dan akhirnya kembali lagi dikeesokan harinya dengan Surat Setoran Pajak tentunya. Terakhir dia minta pinjam name tag yang saya pakai katanya untuk dicatat dan you know what dia bilang gini : “saya kenal dekat dengan Pak Darmin (waktu itu masih Pak Darmin Dirjennya), nanti saya akan sampaikan nama Anda ke Beliau supaya anda bisa naik jabatan.

Me : “Wah pak nggak perlu repot-repot, wong jabatan saya ini sudah mentereng dan dalam  bahasa enggres pula “Account Representative”, dikantor pajak yang jabatannya dalam bahasa enggres cuma dua lho pak yaitu Account Representative dan Cleaning Service.
(naik jabatan dari hongkong, yang ada juga dipindahin ke Madya, ooh nooo batin saya menjerit).
Dan si Bapak menjabat tangan saya sambil terbahak-bahak (yaaa ampun padahal candaan model begini ditelinga orang pajak basi banget kan?)

2.   Seorang bapak datang dengan SPT Tahunan PPh Badan yang menyatakan Lebih Bayar, dan saya jelaskan bahwa kelebihan bayar akan dikembalikan namun melalui pemeriksaan terlebih dahulu apakah benar kelebihan atau kekurangan atau impas, dan ketika akan saya jelaskan tahap-tahap pemeriksaan itu seperti apa, si Bapak memotong pembicaraan dan dengan dengan polosnya bilang gini : “ya sudah deh mbak, periksa aja sekarang saya tungguin, biar uangnya langsung bisa saya bawa”----WHATTTT!!! Diperiksa dan ditungguin lalu dibayar, hellloo ini kantor pajak ya bukan tempat penukaran uang.

3.   Seorang bapak yang mempunyai los beras di Pasar Induk Cipinang datang kepadaku membawa catatan omset penjualannya selama setahun, dan sebagai pemilik NPWP baru minta petunjuk untuk mengisi SPT Tahunan Orang Pribadi untuk pertama kalinya. Batinku terkagum2, satu toko saja bisa segini besar omsetnya. Pertama kulakukan adalah menghitung cepat berapa kira-kira PPh terutangnya, dan cukup fantastis untuk ukuran KPP Pratama Jakarta Duren Sawit. Feelingku mengatakan si bapak ini akan menolak mentah2 begitu tahu berapa jumlah PPh terutang yang harus dia setor, maka aku memintanya untuk tandatangan catatan omset tersebut dan secepat kilat minta tolong OB untuk fotokopi di lantai 3. Sambil menunggu fotokopi saya jelaskan tata cara penghitungannya dan saat mendebarkan itu tiba, begitu tahu jumlah pajak terutangnya si Bapak berkata “kalau kayak begini caranya lebih baik saya gak usah punya NPWP dan gak usah lapor pajak seperti yang lain”. Si bapak langsung pamit membawa catatan omset yang telah digandakan.  

4.   Seorang ibu paruh baya, telah selesai mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun petugas bagain entry mengantarkan ibu ini kembali kepadaku, usut punya usut ibu ini ternyata ingin Tanda Terima SPT-nya yang warna kuning itu atas nama dirinya. Berhubung NPWP itu milik suaminya mau tak mau yang muncul adalah nama suaminya. Setelah dijelaskan panjang kali lebar kali tinggi si ibu ini tiba-tiba muntab dan secara berapi-api mengatakan“pokoknya saya nggak mau tau, saya mau lapor SPT atas nama saya, saya benci lihat nama suami saya, baj**** tukang selingkuh, bla bla bla” sumpah serapahnya yang membabi buta menunjukkan kebencian yang amat. Sebagai sesama perempuan (ecieee) daku mendekati secara hati ke hati, kujelaskan bagaimana caranya supaya bisa punya NPWP sendiri dan membuang jauh-jauh suami liarnya itu (kalau gak salah ibu ini dulunya pernah berprofesi sebagai notaris). Setelah tenang ibu ini bercerita bahwa suaminya jadi gila harta sejak punya selingkuhan sampai-sampai dia dipersulit untuk bisa berpisah dengan suaminya tak lain tak bukan karena masalah gono-gini, dan dia berkata diujung curhatnya “saya nggak ada cemburu sama sekali mbak, ini masalah harga diri yang diinjak-injak”. Saat itu perasaanku bercampur aduk, dan lebih bercampur aduk lagi saat kulihat antrian yang menjadi jatahku mulai memanjang karena untuk ibu ini saja saya menghabiskan waktu hampir 30 menitan. Oalaah ono ono wae.


                                                 Matraman penuh kenangan, sekitaran 2007 s/d 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar